Banjarbaru, SuratKabarDigital.com – Besi pembatas siring sempoyongan, tak sekokoh sebelumnya. Kian miring diantara palang-palang penyangga. Sungai Kemuning mencari keadilannya. Tapal batas tak lagi sejajar bumi. Membekas ditandai kubangan dan sisa kerakusan. Lumpur menjadi sisa kenangan sembari menunggu bala bantuan yang pada faktanya tak berkesampaian. Bekasnya melebihi pintu ke pintu.
Langit hari ini mencekam saat pembicaraan terjadi dengan sahabat lama di atas susunan material semen bermotif yang juga tak luput terpaan. Banjir terus menerus menghantui di bawah langit yang suram kelabu bergantian. Buku, tas dan peralatan sekolah beruntung masih bisa menjadi kebahagiaan. Sementara ada kecemburuan di antara batas yang di belah aliran Sungai Kemuning.
Di tengah obrolan, lelaki paruh baya berjalan beriringan, berempat melintas mencari dua bocah yang tak kunjung bersekolah. Salah satunya menggenggam sebuah map kertas. Masuk melangkah usai bertanya dengan warga penjual kopi hitam dalam obrolan. Sementara teriakan bocah dari arah seberang menghentikan obrolanku. Kailnya mengenai mulut reptil kecil menyerupai buaya. Langit masih mendung menghitam.
Kembali memastikan tentang bala bantuan. Faktanya, tak berkesampaian. Hanya ada kecemburuan padahal sama sebagai korban. Kemuning di bawah langit yang masih saja menghitam. (Rudy Azhary)