Baca Yuks – Oleh: Rudy Azhary
Bagi banyak politisi, kekuasaan adalah tujuan akhir berkontestasi. Meski masih menunggu surat dari pusat terkait kapan dan di mana pelantikan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru terpilih akan dilaksanakan, para kusir politik diam-diam masih memecut laju kudanya hingga mencapai tujuan akhir, yakni turut dan masih ingin berada dalam lingkar kekuasaan alias ingin juga berkuasa. Jangan salah, salah pecut bisa membuat kuda berlari terlalu kencang bahkan kebablasan dan tak tahu arah tujuan.
Dalam tulisan ini, saya mencoba mengulik ‘pintu kekuasaan’ bukan dari para pemain politik, melainkan dari golongan birokrat.
Kebimbangan dapat terjadi pada siapa pun dari golongan birokrat di Pemerintah Kota Banjarbaru. Yang awalnya merasa nyaman dan aman bahkan berkuasa, bisa saja kemudian hanya tinggal asa dan tak lagi punya kuasa. Bukan pula risiko pergantian rezim semata yang selalu berulang pada setiap pergantian periode kepemimpinan. Beberapa saat, isu-isu bersebaran di bilik perkantoran. Ada yang sumringah, ada pula yang pura-pura “nggak ngeh”. Ketakutan terjadi dan melintas, meja basah kembali kering atau meja kering menjadi basah adalah efek dari pergantian rezim. Atau, pergi dan tak kembali alias meninggalkan segala yang pernah dikuasai sebelumnya. Ada istilah mereka yang sering didengar, yaitu dikandangkan.
Tentu, memberikan stempel A, B, C, D, dan seterusnya sebagai bagian dari warisan kekuasaan bukanlah alasan mendasar untuk penyusunan kabinet penyelenggaraan rezim pemerintahan baru. Diam-diam, spekulasi tersebut hanya imajinasi mereka yang biasa berada dalam lingkaran “asal Bapak atau Ibu senang”. Hematnya, jika tidak mampu, maka tak ada alasan untuk meneruskan jabatan. Yang mampu saja yang menjalankan. Sistem memerlukan energi positif untuk melesat laju dalam pembangunan. Jadi, perebutan kekuasaan telah dilakukan melalui banyak proses, bahkan secara diam-diam. Maka, berkontestasilah dalam perebutan kekuasaan dengan kemampuan bukan dengan kepicikan.