“TERJEBAK KEKUASAAN” 100 HARI KERJA DI BANJARBARU – Baca Yuks

“TERJEBAK KEKUASAAN” 100 HARI KERJA DI BANJARBARU

Rudy Azhary, Pemimpin Suratkabardigital.com

Oleh: Rudy Azhary

Masih menyisakan waktu menuju 100 hari kerja. Waktu tidak berhenti sesuka hati. Terus bergulir, begitu pun rangkaian proses pekerjaan sebagai kepala daerah yang diemban Hj Erna Lisa Halaby sebagai Wali Kota Banjarbaru periode 2025 – 2030, bersama Wakil Wali Kota Wartono. Umumnya, publik telah disajikan melalui kanal dan portal berita online maupun sosial media tentang apa yang akan dikerjakan Lisa dan Wartono di awal kepemimpinannya. Tulisan kali ini, saya tidak memulainya dengan program 100 hari kerja mereka melainkan sejumlah problematika yang terjadi sebagai sebab – akibat dari penyelenggaraan pemerintahan sebelumnya melalui berbagai kebijakan yang dijalankan atau kebijakan yang terlewatkan tanpa keputusan.

Dari arena olahraga menjadi mukadimahnya. Sejak diluluhlantakan dan dijadikan Pasar Bauntung, Banjarbaru tak lagi memiliki stadion H Idak. Stadion itu padahal satu-satunya sarana para atlet mengembangkan, dan meraih prestasinya. Sayangnya, hingga kepemimpinan sebelumnya berakhir, tak jua ada kabar bahagia dan kepastian apakah akan ada sarana serupa di Ibu Kota yang dimiliki Kota Banjarbaru. Wali Kota Hj Erna Lisa Halaby adalah penentunya dalam hal kebijakan pemerintahan. Apakah kekuasaannya mampu membangkitkan kembali sarana yang telah dihancurkan, dan tak ada realisasi penggantian sarana yang sama hingga sekarang? Setidaknya, peletakan batu pertama adalah tanda keseriusan berkuasa.

Pasar Rakyat, menjadi problem yang kedua. Keberadaan Pasar Rakyat di beberapa wilayah kecamatan seakan bercerita kepada publik akan ketidakmampuan penguasa birokrasi menyelaraskan tujuan pusat dan keinginan masyarakat. Sedari awal, pasar banyak bermasalah. Mulai dari kurangnya minat pedagang, rusaknya bangunan, hingga berkesan proyek tanpa perencanaan matang. Lebih buruk lagi, belum ada realisasi mendekati 90 persen akan keberhasilan pemerintahan pada saat itu mengatasi permasalahannya.

Lanjut, kelangkaan dan mahalnya gas elpiji tiga kilogram menjadi problem yang tak henti-hentinya. Saban kekuasaan berjalan, tak jua kunjung keberhasilan. Gas melon untuk masyarakat miskin yang ditulis pada tabung gas seolah sirna dipermainkan di pasaran. Angkanya mencapai 45 ribu rupiah pernah ditemukan. Dalam konsep pemerintahan, perangkat kaum birokrat bekerja sudah memiliki perannya masing-masing, bahkan keberadaan tiga puluh anggota dewan seolah buta akan kondisi tersebut. Buta dan tidak berdaya mendesak pemerintah Kota Banjarbaru untuk berbuat menyelesaikan problematika itu.

Problematika lainnya menjadi yang ketiga, yakni data warga yang tak memiliki kemampuan secara ekonomi atau sering kita dengar dengan sebutan warga miskin atau tidak mampu. Padahal, sumber daya manusia hingga puncak terendah (kelurahan) secara structural telah terisi. Bahkan, setiap ruangan dan papan informasi pejabat selalu termpampang di semua kantor pemerintahan. Semua jabatan terisi dengan tupoksinya masing-masing. Dari sekian itu, setidaknya persoalan tersebut dapat diselesaikan sedari dulu. Data dan verifikasi factual harusnya sudah terlihat sejak memulai 100 hari kerja pemimpin yang baru. Atau pula, ada petugas yang kami temui ketika wawancara di tempat tinggal kami sebagai pembeda rezim kekuasaan bahwa kami serius bekerja bukan sekadar pencitraan.

Selanjutnya adalah masalah sosial. Mulai dari kesejahteraan, dan hak rakyat untuk memperoleh bantuan atau subsidi dari pemerintah. Termasuk bagaimana pemerintah memastikan jika rakyatnya tinggal pada hunian yang layak baik untuk hidup, kesehatan, dan ancaman kebencanaan. Masih sebatas seremoni yang sama dan berulang saban kali rezim berganti.

Masih tentang probelamtika yang ada, juga menjamah dunia pendidikan. Sebagai daerah yang masih memuja status sebagai ‘Kota Pendidikan’ harusnya Banjarbaru memiliki urat malu yang sangat besar jika kekuasaan dan kebijakan tak mampu menuntaskan problematika di sektor pendidikan. Persoalan pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), formasi kekosongan tenaga pendidik. Jangan sampai sekolah menjadi ladang proyek untuk menuntaskan proyek nafsu politik mereka yang duduk disana.

**Bersambung edisi berikutnya saking banyaknya yang belum tertuntaskan, dan berpotensi berlanjut …….

Berita pilihan lainnya >>>>