Kabupaten Banjar, SuratKabarDigital.com – Di tengah arus deras media sosial yang menampilkan kehidupan orang lain secara glamor dan tanpa cela, banyak orang justru terperangkap dalam jebakan perbandingan sosial yang membahayakan kesehatan mental. Fenomena ini menjadi sorotan Sekretaris Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Kabupaten Banjar, M. Ali Syahbana, dalam sebuah kajian yang digelar Selasa (15/7/2025).
Menurutnya, budaya membandingkan diri dengan kehidupan orang lain, apalagi yang hanya ditampilkan dalam potongan-potongan ‘sempurna’ di media sosial, telah menjadi pemicu utama menurunnya kebahagiaan dan meningkatnya kecemasan di tengah masyarakat.
“Kita hanya melihat hasil, bukan proses. Tampilan, bukan kenyataan. Maka yang terjadi bukan peningkatan motivasi, tapi tekanan sosial, iri hati, dan kecemasan eksistensial,” ungkap Ali.
Ia menjelaskan, dalam psikologi hal ini disebut social comparison, yaitu menjadikan kehidupan orang lain sebagai tolok ukur kebahagiaan dan kesuksesan pribadi. Namun jika tidak disikapi dengan bijak, perbandingan ini bisa berubah menjadi hasad atau iri hati—sifat yang dalam ajaran Islam sangat berbahaya karena bisa menghapus kebaikan yang telah dilakukan seseorang.
“Hasad itu seperti api yang membakar kayu bakar. Hilang semua kebaikan kita,” ujarnya, mengutip hadits riwayat Ibnu Majah.
Ali juga merujuk pemikiran Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah, bahwa hasad, riya (pamer), dan ujub (bangga diri) adalah tiga sifat penghancur utama yang merusak hati manusia. Ketika seseorang tak mampu menerima takdir dan rezeki orang lain, hidupnya akan terus dihantui rasa kurang, gelisah, dan ambisi tanpa arah.
Tak hanya berdampak secara spiritual, kebiasaan membandingkan diri juga membentuk pola pikir konsumtif dan kebutuhan akan validasi sosial yang berlebihan. Banyak orang merasa harus memamerkan pencapaian demi mendapat pengakuan dari publik, meskipun itu memicu tekanan mental.
Ali pun mengajak masyarakat untuk kembali pada nilai qana’ah, yaitu rasa cukup atas karunia Allah. Dalam Islam, qana’ah dipandang sebagai sumber ketenangan sejati, yang membuat seseorang mampu bersyukur meski dalam kondisi terbatas.
“Qana’ah itu seperti harta karun yang tak akan pernah habis,” kutipnya dari hadits Nabi.
Ia menegaskan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah milik mereka yang memiliki paling banyak, tapi mereka yang paling pandai bersyukur dan tidak menjadikan kehidupan orang lain sebagai standar hidupnya sendiri.
“Kalau kebahagiaan terus diukur dari orang lain, maka ia akan selalu menjadi bayangan yang menjauh setiap kali dikejar,” pungkasnya.