Kabupaten Banjar, SuratKabarDigital.com – Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, jejak sejarah bukan hanya warisan masa lalu, tapi juga cermin nilai-nilai yang bisa menuntun masa depan. Di Kabupaten Banjar, dua entitas budaya—Gunung Pamaton dan sosok Pangeran Suryanata—kembali menjadi sorotan sebagai poros identitas yang meneguhkan jati diri Banua.
Namun alih-alih hanya menjadi bagian dari cerita kuno atau simbol romantisme sejarah, keduanya kini tengah diangkat kembali sebagai perangkat edukatif dan inspiratif untuk generasi muda. Gunung Pamaton, misalnya, yang terletak di Kecamatan Karang Intan, bukan hanya sekadar bentang alam, tetapi juga ruang yang menyimpan memori spiritual, politik, hingga perjuangan fisik masyarakat Banjar.
“Gunung Pamaton adalah ruang sejarah yang hidup, bukan mati. Ia bukan hanya saksi, tapi juga guru,” kata M. Ali Syahbana, pemerhati budaya Banjar sekaligus anggota DPRD Kabupaten Banjar.
Menurut Ali, kawasan itu diyakini sebagai tempat bertakhtanya Pangeran Suryanata, tokoh sentral yang dalam Hikayat Banjar disebut sebagai pendiri tatanan awal pemerintahan Banua. Perpaduannya dengan figur Putri Junjung Buih menggambarkan bukan hanya kisah cinta mitologis, tetapi penyatuan unsur bumi dan air, kekuasaan dan legitimasi, serta realitas dan spiritualitas.
“Ini bukan sekadar mitos atau legenda. Ini adalah refleksi cara masyarakat kita memaknai pemimpin: bukan dari garis darah, tapi dari penerimaan dan nilai-nilai luhur,” ujar Ali.
Gunung Pamaton pun tak hanya dikenal dalam narasi budaya. Saat Perang Banjar meletus pada akhir abad ke-19, kawasan ini menjadi salah satu titik penting pertahanan rakyat terhadap kolonialisme. Di sanalah, pada 19 Juni 1861, pasukan Belanda melakukan serangan besar—sebuah momen yang kini menjadi bagian penting dari sejarah perlawanan rakyat Banjar.
Dari sudut pandang antropologis, Gunung Pamaton juga dijuluki “pintu gerbang alam gaib” dalam tradisi lisan masyarakat Banjar. Ungkapan ini tak dimaknai secara literal, melainkan sebagai bentuk kesadaran kolektif akan ruang sakral yang menyatukan manusia dengan leluhurnya, sejarah dengan spiritualitas, dan budaya dengan keberlangsungan hidup.
Ali Syahbana menilai pentingnya narasi-narasi lokal seperti ini tidak hanya diangkat di momentum tertentu, tetapi masuk dalam kurikulum pendidikan, kegiatan komunitas, hingga ruang digital yang kerap menjadi tempat berinteraksi anak muda.
“Ketika generasi muda mengenal Pangeran Suryanata dan Gunung Pamaton, mereka bukan hanya belajar sejarah. Mereka belajar jati diri. Ini semacam kompas budaya yang memberi arah di tengah dunia yang serba cepat dan terputus dari akar,” tegasnya.
Ia juga menekankan, kehilangan narasi lokal bukan sekadar kehilangan cerita, tapi juga kehilangan nilai, kehilangan orientasi, bahkan kehilangan keberanian untuk bermimpi dengan karakter sendiri.
Dengan menjadikan Gunung Pamaton dan Pangeran Suryanata sebagai simbol edukatif, masyarakat Banjar bukan sekadar menjaga sejarah, tetapi menghidupkannya—menjadikannya bagian dari diskursus hari ini, sebagai bahan bakar untuk melangkah ke masa depan yang tidak tercerabut dari akar.
“Sejarah bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk ditumbuhkan kembali di hati anak-anak kita,” pungkas Ali.