Kabupaten Banjar, SuratKabarDigital.com – Munculnya ajaran kontroversial di salah satu desa di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, yang mengklaim seseorang dapat meninggalkan salat karena telah mencapai tingkat spiritual tertentu, mendapat respons tajam dari publik dan tokoh agama.
Namun di tengah gelombang kecaman, muncul suara yang mengajak pendekatan lebih mendalam. Salah satunya datang dari M. Ali Syahbana, pemuda asal Kabupaten Banjar yang dikenal sebagai pengamat sosial-keagamaan, hukum, dan kebudayaan.
Ali menilai fenomena ajaran “tamat sembahyang” bukan sekadar bentuk penyimpangan, tetapi juga refleksi dari krisis pengetahuan keagamaan dan sistem sosial yang melemahkan akses terhadap ulama dan jalur keilmuan yang bersanad.
“Ketika jalur ilmu terputus dan masyarakat tak lagi dekat dengan guru yang benar, maka akan lahir tafsir-tafsir liar seperti ini. Ini bukan soal sesat semata, tapi soal tersesat karena kehilangan arah,” ujar Ali, Kamis (3/7/2025).
Meski menegaskan ajaran tersebut bertentangan dengan prinsip dasar Islam, Ali mengajak masyarakat untuk tidak semata-mata menghukum pelaku, melainkan juga memahami latar sosial yang membuat penyimpangan itu tumbuh.
“Kita bisa tegas terhadap ajaran, tapi tetap lembut terhadap pelakunya. Banyak dari mereka bukan berniat buruk, tapi bingung dan kehilangan pegangan,” ucapnya.
Ali menyebut bahwa penanggulangan fenomena semacam ini memerlukan pendekatan berlapis, termasuk hukum, pendidikan, dan dakwah yang penuh kasih sayang. Ia menegaskan pentingnya memperkuat kembali halakah ilmu, kehadiran tokoh agama di tengah masyarakat, serta peran generasi muda sebagai penjaga akidah.
Ali mengingatkan agar respons terhadap penyimpangan tidak bersifat reaktif semata. Menurutnya, upaya pencegahan jauh lebih penting dibanding sekadar penindakan pasca kejadian.
“Jika kita hanya hadir saat kegaduhan muncul, maka penyimpangan akan terus berulang. Masyarakat harus didampingi secara berkelanjutan, tidak dibiarkan berjalan tanpa arah,” ujarnya.
Sebagai Ketua Yayasan Pondok Pesantren Syafaat Bukhari Muslim, Ali aktif menulis refleksi keagamaan dan sosial di berbagai media. Ia juga dikenal sebagai sosok yang mendorong pemikiran Islam moderat, pluralisme, dan nilai-nilai hak asasi manusia, terutama dalam konteks masyarakat Banjar dan Kalimantan Selatan.
Mengakhiri pandangannya, Ali mengajak semua pihak untuk menjadikan fenomena ini sebagai momen evaluasi kolektif.
“Kita jangan hanya marah, tapi harus bergerak. Kembali kuatkan sistem pendidikan agama, dekatkan masyarakat dengan ulama yang amanah, dan perkuat literasi keagamaan di segala lapisan,” pungkasnya.