Kabupaten Banjar, SuratKabarDigital.com — Di tengah dinamika hidup modern yang penuh tekanan, Pemikir Muda Banua sekaligus Wakil Rakyat Kabupaten Banjar, Ali Syahbana, menyerukan pentingnya menanamkan sikap ikhlas sebagai fondasi kedamaian batin dan kecerdasan spiritual. Pesan ini ia sampaikan dalam sebuah refleksi filsafat dan psikologi yang dibagikan pada Jumat (14/11/2025).
Ali menilai, ikhlas bukan sekadar konsep spiritual, tetapi juga perpaduan harmonis antara kebijaksanaan klasik dan sains modern yang dapat memperkuat ketahanan mental masyarakat.
Menurut Ali, Aristoteles menegaskan bahwa kenyataan adalah aktualisasi potensi bawaan. Pendekatan ini berbeda dengan Plato yang memisahkan antara ide dan realitas. Dengan memahami kenyataan sebagai proses aktualisasi, manusia didorong untuk lebih lapang menerima perjalanan hidup.
“Dalam tradisi kebijaksanaan Al-Hikam, ikhlas bukan sekadar menerima, melainkan penyerahan total kepada kehendak Ilahi. Sikap ini membebaskan jiwa dari kegelisahan,” ujarnya.
Ali menilai, konsep ikhlas dalam tradisi sufistik memberikan kedalaman emosional yang menjadi penyeimbang rasionalitas filsafat Yunani.
Tak hanya bersandar pada literatur klasik, Ali juga menyinggung dukungan ilmiah dari psikologi modern. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penerimaan psikologis—kemampuan menerima kenyataan tanpa perlawanan emosional—berdampak langsung pada peningkatan kesehatan mental.
“Sikap ini membantu membangun ketahanan emosional dan mengoptimalkan fungsi kognitif, sehingga seseorang terhindar dari stres berlebihan,” jelasnya.
Ali turut mengaitkan nilai-nilai Stoic, terutama prinsip “Amor Fati” atau mencintai takdir. Stoicisme mengajarkan manusia untuk fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan dan melepaskan kecemasan terhadap sesuatu di luar kuasa diri.
“Dengan prinsip ini, kita diajak menerima setiap keadaan, baik maupun buruk, sebagai bagian bermakna dari hidup,” terangnya.
Ali menegaskan bahwa perpaduan ajaran Aristotelian, hikmah sufistik, psikologi modern, dan Stoicisme, menghasilkan bentuk ikhlas yang “kuat dan berkelas”. Bukan pasrah tanpa daya, melainkan kesadaran penuh untuk berdamai dengan realitas sekaligus terus berikhtiar.
“Ikhlas bukan kelemahan. Ini kekuatan yang membebaskan jiwa untuk menyelami tujuan hidup yang lebih dalam,” tegasnya.
Ia mengajak masyarakat untuk menjadikan ikhlas sebagai jembatan harmonis antara idealisme dan realitas, antara iman dan rasio, serta antara spiritualitas dan ilmu pengetahuan.
“Sebuah undangan untuk menguatkan jiwa dengan filosofi yang kaya, relevan, dan aplikatif di tengah kehidupan modern,” tutupnya.

